Kamis, 07 Juni 2012

Sejarah Berdirinya Bad English




BAD ENGLISH, band asal Amerika ini terbentuk pada tahun 1988. Di era glamrock 80an sangat kental warna hard rock, ini juga mewarnai terbentuknya Bad English. Band yg terkenal dengan lirik cinta-cintaan ini terbentuk berawal dari reuni para mantan personel band The Babys yaitu John Waite (vokal), Jonathan Cain (keyboard), Ricky Phillips (bass).


Ketiga personel ini pun menggandeng gitaris Neal Schon yg pernah satu band dengan Jonathan Cain di Journey (band yg dibentuk oleh ex-player ‘Santana’). Untuk melengkapi formasi ini, maka Deen Castronovo mantan drumer Wild Dog pun didaulat untuk menyempurnakan formasi Bad English.

Pemilihan nama Bad English pun cukup unik, kejadian ini berawal saat bermain bilyard. Saat John Waite meleset melakukan trik ‘english’, lantas Jonathan Cain berteriak kepada John Waite, “bad english” untuk meledek trik ‘english’nya John Waite.


(english adalah sebutan dalam trik pemukulan bola bilyard, dengan trik ini maka akan mendapatkan efek bola yg berputar/spin)


Dengan lirik cinta-cintaan yg terasa dominan pada Bad English, ditambah lengkingan suara khas John Waite (yg banyak dibilang ’sekseh’ oleh cewe-cewe) maka tak heran Bad English banyak digilai oleh kaum Hawa.


Album pertama (selftitled) pun diluncurkan pada Juni 1989 dibawah label Epic Records. Disinilah awal mulanya Bad English menggebrak dunia hingar bingar musik, dengan lagu “When I See You Smile” sangat sukses dipasaran, tak pelak membuat Bad English mendapat penghargaan platinum di Amerika dan gold di Kanada.



Setelah sukses dengan single “When I See You Smile”, album ini pun juga menelurkan hits “Forget Me Not”, “Price of Love” ataupun “Possession”. Di tahun 1989 Bad English juga menulis lagu “Best of What I Got” untuk dijadikan soundtrack film Tango and Cash.


Sukses di album pertama dan serangkaian tur, maka pada Agustus 1991 Bad English meluncurkan album kedua “Backlash” masih dibawah Epic Record. Dengan lagu andalan “Straight To Your Heart”, “The Time Alone With You”, atau juga “Make Love Lost”, album ini tak mampu mengulangi kesuksesan album pertama. Hal ini dipengaruhi oleh konflik internal di tubuh Bad English, dimana John Waite dianggap terlalu ‘mellow’ disaat industri musik dunia digempur oleh antusiasme musik alternative dan grunge.



Tak bertahan lama memang band ini, dan pada akhirnya album Greatest Hits pada tahun 1995 pun mengakhiri semuanya. John Waite memilih karirnya sebagai solois. Sang drumer Deen Castronovo dan bassis Ricky Phillips sempat terlibat dalam proyek Jimmy Page (Led Zeppelin) dan David Coverdale (Whitesnake). Sedangkan keyboardis Jonathan Cain dan gitaris Neal Schon lebih memilih menghidupkan lagi Journey. Dalam penggarapan album bersama Journey dramer Deen Castronovo pun dipanggil untuk membantu proyek Journey dengan dibantu vokalis Steve Augeri dan musisi serba bisa Ross Valory. Memang drumer Deen Castronovo yg paling terlihat paling aktif karna banyak proyek, Castronovo pula ikut membantu penggarapan album Ozzmosis-nya Ozzy Osbourne.

Sabtu, 02 Juni 2012

Prestasi Pep Guardiola di Barcelona


Publik sepak bola dunia boleh berdebat untuk menentikan apakah Pele atau Diego Maradona yang layak disebut legenda sepak bola terhebat sepanjang masa. Tetapi, bagi Barcelona, sosok Hendrik Johannes Cruyff adalah pujaan nomor satu.
Sebagai pemain, Cruyff memang hanya mempersembahkan satu titel La Liga dan Copa Del Rey. Kecintaan Barcelonistas lebih karena Cruyff pernah berujar kepada media Eropa bahwa ia lebih memilih Barca dibandingkan sang seteru abadi, Real Madrid.
Cruyff baru mematenkan sejarahnya sendiri di Tim catalan kala bertugas sebagai pelatih. Dengan 11 trofi, termasuk mahkota Piala Champion pertama bagi Barca pada 1992, Cruyff tak pelak didaulat sebagai manajer terbaik sepanjang sejarah klub.
Warisan Cruyff bukan semata gelar. Filosofi total football plus sebutan dream team bagi tim asuhannya kala itu adalah kontribusi abadi yang masih diagungkan Agen Bola hingga kini.
Sulit mencari sosok seagung Cruyff bagi Barca. Bukan karena Blaurgana tak pernah lagi memiliki pemain hebat. Andoni Zubizarreta, Michael Laudrup, Ronald Koeman, Hristo Stoichkov, Rivaldo Romario, Luis Enrique, mereka semua adalah pemain besar dalam sejarah tim, tapi masih belum cukup pantas disejajarkan dengan Cruyff.
Well, penantian tersebut kini berakhir. Barcelona sudah menemukan legenda baru atau setidaknya berada di jalur yang tepat untuk menjadi legenda abadi. Dialah Josep Guardiola alias Pep Guardiola, pelatih Barca saat ini yang kebetulan merupakan didikan langsung Cruyff.
Pep bahkan bisa dibilang sudah melewati sang mentor. Tentunya jika tolak ukur diambil dari jumlah trofi semata. Saat berkostum Blaurgana selama 11 musim, Pep mempersembahkan 16 mahkota juara.
Enam diantara gelar juara itu ditorehkannya di ajang La Liga. Selain Pep, hanya ada dua nama pemain Barca lain yang pernah meraih pencapaian serupa, yakni Antoni Ramallets (1947-1960) dan Xavi (1997-sekarang).
Kehebatan Pep terjaga saat menduduki kursi arsitek Los Cules. Di kompetisi domestik, Pep  menyapu bersih tiga gelar sejak pertama kali menjadi pelatih pada 2008/09.
Artinya, Pep memiliki kontribusi penting dalam sembilan titel La Liga Barca. Hal ini sungguh istimewa mengingat Tim Catalan hanya meraup sebelas gelar dalam 20 tahun terakhir.
Sepanjang karir melatihnya, Pep kini sudah mengkoleksi sembilan mahkota. Itupun masih mungkin bertambah jika Lionel Messi cs memenangi final Liga Champion musim ini dua pekan mendatang.
Total 25 gelar sudah dipersembahkan Pep bagi Azulgrana, baik sebagai pemain atau pelatih. Jumlah itu melewati torehan Miguel Munoz, yang mempersembahkan sembilan trofi sebagai pemain Madrid (1948-1958) dan 14 gelar sebagai pelatih Los Blancos (1959-1974).
Inilah Prestasi Pep Guardiola di Barcelona
A. Sebagai Pemain (1990-2001)
  • Trofi La Liga (6 kali): 1990/91, 1991/92, 1992/93, 1993/94, 1997/98, 1998/99.
  • Trofi Copa Del Rey (2 kali): 1996/97, 1998/99.
  • Piala Super Spanyol (4 kali): 1991, 1992, 1994, 1996.
  • Piala Champion (1 kali): 1991/92.
  • Piala Winner (1 kali): 1996/97.
  • Piala Super Eropa (2 kali): 1992, 1997.
B. Sebagai Pelatih (2008-…)
  • Trofi La Liga (3 kali): 2008/09, 2009/10, 2010/11.
  • Trofi Copa Del Rey (1 kali): 2009.
  • Piala Super Spanyol (2 kali): 2009, 2010.
  • Liga Champion (1 kali): 2009.
  • Piala Super Eropa (1 kali): 2009.
  • Piala Dunia Antar Klub (1 kali): 2009.

Sejarah Duel El-Clasico Barcelona Vs Real Madrid


SEPAKBOLA + POLITIK + KEBANGGAAN IDENTITAS / HARGA DIRI = Barcelona Vs Real Madrid
Tentu Anda bertanya, mengapa penggemar Barcelona harus memusuhi Real Madrid. Mengapa tidak sekedar mendukung yang satu tanpa memusuhi yang lain?
Ada baiknya kita cerita sejarah dulu kalau begitu ya….
Permusuhan dengan Real Madrid
Klub Barcelona didirikan tahun 1899 oleh seorang kelahiran Swiss bernama Hans Gamper (yang sama seperti Anda, saya pun tidak kenal). Dia membentuk klub sepak bola yang berisi pemain-pemain dari Swiss, Inggris, dan Catalan (satu suku bangsa di Spanyol). Gamper mencetak 103 gol antara tahun 1901 sampai 1903 dan menjadi Presiden klub sampai kematiannya tahun 1930. Stadion Barcelona pertama dibangun tahun 1909 dengan kapasitas penonton 6000 orang. Pertama kali Barcelona menjadi juara liga spanyol adalah tahun 1929, hanya 1 tahun sebelum kematian Gamper. Pada waktu itu, Barcelona sudah menjadi tim yang disegani dan sudah bisa merekrut pemain-pemain asing seperti Hector Scarone (Uruguay). Akan tetapi pemain yang mungkin “paling” terkenal pada zaman ini adalah sang kiper, Ricardo Zamora. Zamora terkenal karena 2 alasan. Pertama, nama dia diabadikan sampai sekarang sebagai nama piala penghargaan untuk kiper terbaik di liga spanyol setiap tahunnya. Kedua, dia adalah pemain pertama yang menapaki jalan transfer yang paling berbahaya di spanyol: Pindah dari Barcelona ke Real Madrid!
Permusuhan antara Barcelona dan Real Madrid bermula pada masa Franco. Siapa Franco ini? Dia adalah seorang Jenderal yang menjadi penguasa diktator di Spanyol pada tahun 1930-an. Barcelona, sampai sekarang, adalah “ibukota” dari Provinsi Catalonia, yang sebagian besar penduduknya adalah dari suku bangsa Catalan dan Basque. Sejak dulu, orang-orang catalonia ini menganggap diri mereka bukan bagian dari Spanyol, dan merupakan bangsa yang berada di bawah “penjajahan” Spanyol.
Franco kemudian bertindak lebih jauh. Josep Suñol, Presiden Barcelona waktu itu, dibunuh oleh pihak militer pada tahun 1936, dan sebuah bom dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada tahun 1938. Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona “diinstruksikan” (dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid. Barcelona kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol dari Real Madrid. Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain serius dalam 1 serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan 1 gol itu membuat Franco kesal. Kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan “pengaturan pertandingan” dan dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya.
Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub “anti-franco” dan menjadi simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco, dan secara umum, terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti Athletic Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada idealismenya untuk hanya merekrut pemain-pemain asli Basque, tetapi dari segi prestasi tidak sementereng Barcelona. Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid.
Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!. Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan.
Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2 dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali piala raja, dan satu kali piala Inter City Fair (yang kemudian menjadi UEFA Cup).
Franco melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka. Warna biru dan merah marun Barcelona menjadi pengganti yang mudah dipahami dari warna merah dan kuning (bendera) Catalonia.
Rivalitas Sampai Saat ini
Pada tahun 1973, seorang pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu legenda Barcelona, Johan Cruyff, bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan persnya ketika diperkenalkan, Cruyff menyatakan bahwa ia lebih memilih Barcelona dibanding Real Madrid karena ia tidak akan mau bermain di sebuah klub yang diasosiasikan dengan Franco. Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri dengan skor 5-0 (!).
Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya dengan nama khas Catalan, yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri pada akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih banyak dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat beberapa tahun memperkuat Manchester United.
Selanjutnya, permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih “sehat”. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya selalu menjanjikan sesuatu yang spesial. Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah “perang”, bukan sekedar pertandingan sepak bola. Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan serdadu perang, bukan sebuah kesebelasan sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang dipertaruhkan. Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi JANGAN sampai kalah dari Real Madrid!
Meski begitu di dalam lapangan, “peperangan” ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung dalam sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini soal nama baik.
Transfer pemain adalah salah satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatan.
Luis Figo mungkin adalah salah seorang yang paling mengerti mengenai hal ini. Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu “bukan siapa-siapa” tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an. Akan tetapi, pada tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima tawaran Real Madrid dengan iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer yang ketika itu menjadi rekor pembelian termahal seorang pemain sepak bola. Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.
Dalam duel el classico tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur hidup. Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil menerobos pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera Barcelona sebagai jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah istimewa: sebuah kepala babi, lengkap dengan sedikit darah masih menetes dari lehernya. Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah Figo. Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan menjauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, karena ia tahu kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan pengkhianatan.